Cerpen ini aku buat untuk non test B.Indonesia, dari pada di delete mendingan aku posting aja ke blog ku umarohsiti80@blogspot.com. Cerpen ini bertema "Pendidikan", amanat dalam cerpen ini "Kita harus membantu teman yang sedang dalam kesulitan".
Selamat membaca ... :)
Kita adalah satu
Bagiku sahabat adalah
bukan mereka yang hanya ada di saat ku senang, tapi mereka yang selalu ada di
saat ku duka. Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti Klara, Qaila, dan Rafa,
mereka yang selalu mengerti aku. Aku sahabatan sama mereka sejak aku masih
kecil, sampai sekarang ini. Mungkin, karena orangtua ku dulunya juga sahabatan
sama orangtuanya Klara, Qaila, dan Rafa.
Di pagi hari yang cerah,
aku, Klara, Qaila, dan Rafa berangakat ke sekolah bersama-sama. Setelah kami
sampai di sekolah, kami langsung masuk kelas karena bel masuk telah berbunyi.
Jam pertama adalah pelajaran Matematika, Rafa sangat senang dengan pelajaran
ini dan dia pun cukup pintar. Kemudian Pak Reno pun masuk ke kelas kami, dia
adalah guru Matematika di sekolah kami ini.
“Anak-anak ! hari ini kita
ulangan” ujar Pak Reno.
“Haahhh ….. ! ulangan ?”
kata murid-murid dengan ekspresi terkejut.
“Iya, sekarang kita
ulangan” jawab Pak Reno.
“Pak kenapa ulangannya
mendak kaya gini ?” tanya ku kepada Pak Reno.
“Agar Bapak tahu siapa
murid yang sudah belajar dan murid yang belum belajar” kata Pak Reno sambil
tersenyum. “Kalian sudah siap kan untuk ulangan hari ini ?”
“Sudah siap Pak” jawab
Rafa dengan suara lantang.
“Ya sudah kalau semuanya
sudah siap, mari kita mulai ulangan matematika hari ini” kata Pak Reno.
Lalu Pak Reno membagikan
selembaran soal ulangan Matematika kepada semua murid di kelas. Aku pun nampak
kebingungan pada saat mengerjakan soal ini, karena soalnya sangat susah sekali.
Jujur saja aku memang semalam tidak belajar, karena aku terlalu asik menonton
tv dan memainkan handphone.
“Rafa …! Rafa …!” kata ku
dengan suara pelan.
Aku berulang kali
memanggil Rafa, tapi dia tidak menoleh ke arah ku sama sekali. Mungkin memang
dia benar-benar tidak mendangar suara ku, atau hanya berpura-pura tidak
mendengar suara ku. Saat ku melihat jam, ternyata telah menunjukan pukul 09.15,
yang menandakan bel istirahat tinggal 15 menit lagi. Tapi lembaran jawaban ku masih
banyak yang belum di isi. Aku pun segera mengisi soal yang belum ku jawab, itu
pun hanya dengan kira-kira saja.
“Ayo anak-anak kumpulkan
lembaran jawaban dan soalnya juga di meja Bapak !” kata Pak Reno, ketika bel
istirahat berbunyi.
“Tapi Pak masih banyak
soal yang belum kami jawab, lalu bagaimana ?” Tanya murid-murid kepada Pak
Reno.
“Ya sudah kumpulkan saja”
jawab Pak Reno.
Setelah itu aku, Klara,
Qaila, dan Rafa, pergi ke kantin sekolah bersama-sama untuk istirahat. Setelah
sampai di kantin kami memesan makanan dan minuman kepada Ibu kantin, lalu kami
mencari tempat duduk yang kosong di sana. Kami di kantin membahas ulangan
matematika tadi.
“Rafa, tadi aku manggil
kamu. Tapi kamu kenapa enggak menoleh ke arah ku ?” tanya aku dengan ekspresi
penasaran.
“Ya maaf ! Tadi aku takut
ketahuan Pak Reno, soalnya Pak Reno ngeliatin aku aja” kata Rafa.
“Iya deh aku maafin” kata
ku dengan muka jutek.
“Menurut kalian soal tadi
itu susah apa enggak ?” tanya Klara.
“Kalau menurut ku soal
tadi itu susah” jawab Qaila.
“Aku setuju sama kamu,
Qaila. Soal tadi itu susah banget” kata ku.
“Kalau menurut ku soal
tadi enggak terlalu susah juga, lumayan gampang” jawab Rafa.
“lumayan gampang dari mana
? Soal tadi itu susah banget Rafa, aku setuju sama kalian semua kecuali Rafa”
kata Klara dengan muka sinis.
“Tau tuh Rafa” kata Qaila.
“Kita semua tau kalau kamu
itu memang pinter matematika, tapi jangan sombong gitu dong Rafa !” kata ku.
“Aku enggak bermaksud
sombong, kenapa kalian jadi kaya gini ?” tanya Rafa.
Lalu bel masuk pun
berbunyi, aku, Klara, Qaila, dan Rafa, serta murid-murid yang lainnya pun
memsuki kelasnya masing-masing. Selanjutnya kita memasuki pelajar ke dua yaitu
IPA. Kemudian Pak Alex memasuki kelas kami, dia adalah guru IPA di sekolah
kami, orangnya pun asik. Tak terasa bel pulang berbunyi, mungkin karena terlalu
asik belajar IPA jadi tak terasa.
Aku, Klara, dan Qaila
berjalan keluar kelas, dan Rafa menghampiri kami. Akhirnya kami berempat pun
pulang bersama-sama.
“Rafa, bagaimana kalau
kita belajar Matematika bersama ?” tanya Qaila.
“Ya benar kata Qaila,
bentar lagi kita kan Ujian Nasional” jawab Klara.
“Ya sudah terserah kalian
saja, tapi mau di rumah siapa ?” kata Rafa.
“Eemm …., di rumah ku
saja” usul ku.
“Aku setuju” kata Rafa.
Ke esokan harinya, pada
hari minggu yang sejuk Klara, Qaila, dan Rafa pergi ke rumah ku untuk belajar
Matematika bersama-sama. Rafa yang mengajari aku, Klara, dan Qaila tentang
rumus-rumus Matematika. Lalu Rafa memberikan soal kepada kami, dan kami pun
mejawab soal itu dengan benar. Kami senang karena akhirnya kami bisa mengerti
tentang pelajaran ini. Karena minggu yang akan datang kami akan menghadapi
Ujian Nasioanal.
Seminggu kemudian, kami
menghadapi Ujian Nasional dan pada hari pertama adalah pelajaran Matematika.
Berkat Rafa yang telah mengajari ku Matematika, aku bisa mengerjakan soal-soal
Ujian Nasional dengan baik.
“Rafa, makasih ya. Berkat
kamu tadi aku bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional dengan baik” kata ku.
“Makasih ya Rafa” kata
Qaila.
“Iya Rafa, makasih ya”
kata Klara.
“Iya, sama-sama. Aku
senang bisa bantu sahabat-sahabat ku” jawab Rafa.
“Semoga kita mendapatkan
hasil yang memuaskan” ujar ku.
“Amin ….!” Kata kami
secara bersamaan.
Sekitar dua minggu
kemudian, nilai hasil Ujian Nasional dibagikan. Dan hasilnya kami semua lulus
dengan hasil yang sangat memuaskan. Kami pun merayakan kelulusan kami itu
dengan makan-makan di rumah ku. Pada hari itu kami semua sangat senang, karena
kami semua lulus dengan hasil yang memuaskan. Tapi keadaan menjadi hening,
ketika kami memikirkan akan melanjut kan kemana kita nantinya.
“kita kan udah lulus, jadi
kita bakalan pisah dong ?” tanya ku.
“Iya benar juga, pasti
nanti kita akan melanjutkan ke sekolah yang berbeda-beda” jawab Rafa.
“Tapi aku enggak mau pisah
sama kalian semua” kata Qaila dengan ekspresi sedih.
“Aku juga gak mau pisah
sama kalian” kata Klara.
“Pokoknya kita enggak
boleh pisah, walau pun nanti kita beda sekolah” usul ku.
“Aku setuju, kalau kita
beda sekolah nanti kita harus sering-sering kumpul kaya begini” usul Rafa.
“Iya, jadi di antara kita
jangan ada yang sombong yah !” kata Klara.
“Walaupun kita nanti beda
sekolah tapi kita tetap satu” kata Qaila.
“Setuju …! Kita kan satu
untuk semua dan semua untuk satu” kata ku, Klara, Qaila, dan Rafa secara
bersamaan.
Akhirnya, walaupun kita
sekolah SMAnya beda-beda sekolah. Tapi buktinya kita sampai sekarang ini masih
sahabatan kaya dulu. Dan dari aku, Klara, Qaila, dan Rafa tidak ada yang
berubah. Kita enggak saling sombong, ingkar janji, dan yang lainnya. Kita
memang satu untuk semua dan semua untuk satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar