Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang semasa hidupnya selalu durhaka kepada ayahnya, dan dia baru menyesali perbuatannya itu pada saat ayahnya telah tiada :(
Selamat membaca ... :)
Buah dari
kesalahan
Namaku Rasti, aku adalah
seorang anak yang hanya hidup dengan Ayah yang mukanya cacat. Ibu ku sudah
meninggal dunia, pada saat dia melahirkanku. Sejak ku kecil, hidup ku tak
pernah bahagia. Karena aku hanya seorang anak dari pemulung barang-barang
bekas. Dan Ayah selalu berpesan pada ku, bahwa aku harus jadi orang sukses,
jujur, dan taat agama.
Aku sudah lulus SMP, dan
aku mendapatkan biaya siswa dari sekolah untuk melanjutkan ke SMAN Nusa Bangsa.
SMAN Nusa Bangsa adalah SMA favorit, kebanyakan siswa di sana orang-orang kaya.
Sedangkan aku siapa ? Aku hanya seorang anak pemulung yang mukanya cacat.
Terkadang bahkan sering, aku iri dengan teman-teman ku tapi apalah daya ?.
Pada jam istirahat
sekolah, Ayah ku memulung barang-barang bekas di luar lingkungan sekolah ku.
Dan Ayah ku melihat ku sedang berkumpul dengan teman-teman ku di dalam sekolah.
Lalu Ayah ku memanggil ku, tapi aku sam sekali tidak menoleh ke arahnya. Karena
ku malu dengan teman-teman ku yaitu, Klara, Qaila, dan Laura. Sebab Ayah ku
hanya seorang pemulung yang mukanya cacat.
“Rasti …! Rasti …! Ini
Ayah Rasti” teriak Ayah memanggil namaku.
“Rasti itu ada yang
memanggilmu, dan dia mengaku sebagai Ayah mu” kata Qaila.
“Mana mungkin, kamu salah
dengar kali Qaila” jawab ku.
“Coba kita lihat di
gerbang sekolah, apa benar ada yang memanggilmu?” kata Klara, kita pun menuju
gerbang sekolah.
“Tapi masa iya, bukannya
Ayah Rasti ada di luar negeri ?” tanya Laura.
“Rasti itu sepertinya
orang yang memanggilmu” kata Qaila sambil menujuk ke arah gerbang sekolah.
“Apa itu benar Ayah mu ?”
Tanya Klara.
“Bukanlah, benar akat
Laura kalu Ayah ku sedang di luar negeri” jawab ku.
“Iya sih, tapi tidak ada
salahnya juga kalau kita bertanya kepada pemulung itu” usul Laura.
“Bertanya apa ?” tanya Qaila.
“Mengapa dia mengaku
sebagai Ayahnya Rasti ?” kata Laura
“Mendingan kita masuk
kelas, bukannya sebentar lagi bel masuk berbunyi” usul ku.
“Benar juga kata Rasti,
ayo kita ke kelas !” kata Klara, lalu kita pun masuk ke kelas.
Sesampainya
aku di rumah, bukannya ditawarin makanan yang enak-enak malah di tanya-tanya
tentang kejadian di sekolah tadi. Baru aja pulang sekolah, udah ada aja yang
bikin bete.
“Rasti tadi kenapa Ayah
manggil kamu, tapi kamunya enggak menoleh ke arah Ayah ?” tanya Ayah.
“Aku malu yah, punya Ayah
yang cuma seorang pemulung terus cacat lagi” jawab ku.
“Maafin Ayah udah bikin
kamu malu, tapi Ayah enggak bermaksud seperti itu” ujar Ayah.
“Pokoknya kalu Ayah liat
Rasti lagi kumpul-kumpul sama temen-temen, Ayah pura-pura enggak kenal Rasti.
Klau enggak Rasti enggak mau sekolah lagi” katu ku.
“Rasti enggak boleh
begitu, apapun yang Rasti minta Ayah akan penuhi itu. Yang penting Rasti tetap
sekolah, dan harus jadi orang sukses, jujur dan taat agama” kata Ayah.
Semenjak
kejadian itu, setiap Ayah bertemu Rasti sedang bersama teman-teman Rasti, Ayah
selalu berpura-pura enggak kenal. Karena itu adalah permintaan Rasti, dia
sangat menyayangi ku. Karena aku adalah anak sematawayangnya.
Ayah
akhir-akhir ini sering sakit, tapi tetap saja aku enggak pernah pedulikan itu.
Entah apa penyakit Ayah ku, aku enggak mau tau itu. Hari demi hari, penyakit
Ayah ku semakin parah, dan aku pun mulai cemas.
“Ayah
memang sakit apa ?” tanya ku.
“Paling
Ayah cuma kecapean doang” jawab ku.
“Tapi sepertinya penyakit
Ayah semakin parah, lebih baik ayah periksa ke dokter” usul ku untuk Ayah.
“Ayah
sudah periksa ke dokter” kata Ayah.
“Lalu
kata dokter apa ?” tanya ku.
“Kata
dokter Ayah tidak kenapa-kenapa” jawab Ayah.
“Syukur Alhamdulillah, Ayah
tidak kenapa-kenapa” kata ku sambil tersenyum bahagia.
“Ayah
senang melihat Rasti perhatian sama Ayah” kata Ayah.
Karena
Ayah sedang sakit, aku akan lebih perhatian kepada Ayah. Jujur saja walaupun
aku benci Ayah, Tapi aku tetap sayang ayah. Menurut ku Ayah juga sayang aku, walaupun
aku telah durhaka kepada Ayah.
Sinar
surya yang cerah, membangunkan ku di pagi hari yang sejuk. Saat aku memasuki
kamar Ayah ku, ternyata dia telah terbari tak berdaya. Badannya sangat dingin,
mukanya pucat, entah apa yang terjadi ?. Saat ku coba memegang tangan Ayah ku,
ternyata denyut nadinya terhenti.
“Ayah … ! jangan
tinggalkan Rasti” teriak ku sambil meneteskan air mata.
Aku
merasa terpukul, aku menyesali perbuatan ku terhadap ayah sewaktu ia masih
hidup. Aku pernah tidak mau mengakui Ayah sebagai Ayah ku, karena aku malu
punya Ayah hanya seorang pemulung yang mukanya cacat. Aku sangat menyesali
semua itu, memang benar “penyesalan adalah buah dari kesalahan”.
Tapi
apa daya ku, Semua telah terjadi. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Aku
tidak boleh terus-menerus seperti ini, aku harus bisa hidup mandiri, tanpa ibu
dan ayah. Aku ingin bisa mewujudkan pesan ayah, “aku harus menjadi anak sukses,
jujur dan taat agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar