Translate

Minggu, 16 Desember 2012

Buah Dari Kesalahan

Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang semasa hidupnya selalu durhaka kepada ayahnya, dan dia baru menyesali perbuatannya itu pada saat ayahnya telah tiada :(
 
Selamat membaca ... :)

Buah dari kesalahan
Namaku Rasti, aku adalah seorang anak yang hanya hidup dengan Ayah yang mukanya cacat. Ibu ku sudah meninggal dunia, pada saat dia melahirkanku. Sejak ku kecil, hidup ku tak pernah bahagia. Karena aku hanya seorang anak dari pemulung barang-barang bekas. Dan Ayah selalu berpesan pada ku, bahwa aku harus jadi orang sukses, jujur, dan taat agama.
Aku sudah lulus SMP, dan aku mendapatkan biaya siswa dari sekolah untuk melanjutkan ke SMAN Nusa Bangsa. SMAN Nusa Bangsa adalah SMA favorit, kebanyakan siswa di sana orang-orang kaya. Sedangkan aku siapa ? Aku hanya seorang anak pemulung yang mukanya cacat. Terkadang bahkan sering, aku iri dengan teman-teman ku tapi apalah daya ?.
Pada jam istirahat sekolah, Ayah ku memulung barang-barang bekas di luar lingkungan sekolah ku. Dan Ayah ku melihat ku sedang berkumpul dengan teman-teman ku di dalam sekolah. Lalu Ayah ku memanggil ku, tapi aku sam sekali tidak menoleh ke arahnya. Karena ku malu dengan teman-teman ku yaitu, Klara, Qaila, dan Laura. Sebab Ayah ku hanya seorang pemulung yang mukanya cacat.
“Rasti …! Rasti …! Ini Ayah Rasti” teriak Ayah memanggil namaku.
“Rasti itu ada yang memanggilmu, dan dia mengaku sebagai Ayah mu” kata Qaila.
“Mana mungkin, kamu salah dengar kali Qaila” jawab ku.
“Coba kita lihat di gerbang sekolah, apa benar ada yang memanggilmu?” kata Klara, kita pun menuju gerbang sekolah.
“Tapi masa iya, bukannya Ayah Rasti ada di luar negeri ?” tanya Laura.
“Rasti itu sepertinya orang yang memanggilmu” kata Qaila sambil menujuk ke arah gerbang sekolah.
“Apa itu benar Ayah mu ?” Tanya Klara.
“Bukanlah, benar akat Laura kalu Ayah ku sedang di luar negeri” jawab ku.
“Iya sih, tapi tidak ada salahnya juga kalau kita bertanya kepada pemulung   itu” usul Laura.
“Bertanya apa ?” tanya Qaila.
“Mengapa dia mengaku sebagai Ayahnya Rasti ?” kata Laura
“Mendingan kita masuk kelas, bukannya sebentar lagi bel masuk berbunyi” usul ku.
“Benar juga kata Rasti, ayo kita ke kelas !” kata Klara, lalu kita pun masuk ke kelas.
          Sesampainya aku di rumah, bukannya ditawarin makanan yang enak-enak malah di tanya-tanya tentang kejadian di sekolah tadi. Baru aja pulang sekolah, udah ada aja yang bikin bete.
“Rasti tadi kenapa Ayah manggil kamu, tapi kamunya enggak menoleh ke arah Ayah ?” tanya Ayah.
“Aku malu yah, punya Ayah yang cuma seorang pemulung terus cacat lagi” jawab ku.
“Maafin Ayah udah bikin kamu malu, tapi Ayah enggak bermaksud seperti itu” ujar Ayah.
“Pokoknya kalu Ayah liat Rasti lagi kumpul-kumpul sama temen-temen, Ayah pura-pura enggak kenal Rasti. Klau enggak Rasti enggak mau sekolah lagi” katu ku.
“Rasti enggak boleh begitu, apapun yang Rasti minta Ayah akan penuhi itu. Yang penting Rasti tetap sekolah, dan harus jadi orang sukses, jujur dan taat agama” kata Ayah.
          Semenjak kejadian itu, setiap Ayah bertemu Rasti sedang bersama teman-teman Rasti, Ayah selalu berpura-pura enggak kenal. Karena itu adalah permintaan Rasti, dia sangat menyayangi ku. Karena aku adalah anak sematawayangnya.
          Ayah akhir-akhir ini sering sakit, tapi tetap saja aku enggak pernah pedulikan itu. Entah apa penyakit Ayah ku, aku enggak mau tau itu. Hari demi hari, penyakit Ayah ku semakin parah, dan aku pun mulai cemas.
          “Ayah memang sakit apa ?” tanya ku.
          “Paling Ayah cuma kecapean doang” jawab ku.
“Tapi sepertinya penyakit Ayah semakin parah, lebih baik ayah periksa ke dokter” usul ku untuk Ayah.
          “Ayah sudah periksa ke dokter” kata Ayah.
          “Lalu kata dokter apa ?” tanya ku.
          “Kata dokter Ayah tidak kenapa-kenapa” jawab Ayah.
“Syukur Alhamdulillah, Ayah tidak kenapa-kenapa” kata ku sambil tersenyum bahagia.
          “Ayah senang melihat Rasti perhatian sama Ayah” kata Ayah.
          Karena Ayah sedang sakit, aku akan lebih perhatian kepada Ayah. Jujur saja walaupun aku benci Ayah, Tapi aku tetap sayang ayah. Menurut ku Ayah juga sayang aku, walaupun aku telah durhaka kepada Ayah.
         
          Sinar surya yang cerah, membangunkan ku di pagi hari yang sejuk. Saat aku memasuki kamar Ayah ku, ternyata dia telah terbari tak berdaya. Badannya sangat dingin, mukanya pucat, entah apa yang terjadi ?. Saat ku coba memegang tangan Ayah ku, ternyata denyut nadinya terhenti.
“Ayah … ! jangan tinggalkan Rasti” teriak ku sambil meneteskan air mata.
          Aku merasa terpukul, aku menyesali perbuatan ku terhadap ayah sewaktu ia masih hidup. Aku pernah tidak mau mengakui Ayah sebagai Ayah ku, karena aku malu punya Ayah hanya seorang pemulung yang mukanya cacat. Aku sangat menyesali semua itu, memang benar “penyesalan adalah buah dari kesalahan”.
          Tapi apa daya ku, Semua telah terjadi. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Aku tidak boleh terus-menerus seperti ini, aku harus bisa hidup mandiri, tanpa ibu dan ayah. Aku ingin bisa mewujudkan pesan ayah, “aku harus menjadi anak sukses, jujur dan taat agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar